Kamis, 24 Mei 2012

Klipping tentang Syi'ah

I. Kedudukan Syi'ah di Tengah-Tengah Umat Islam

From : http://www.globalmuslim.web.id/2012/01/kedudukan-syiah-di-tengah-tengah-umat.html

Pasca Revolusi Iran, kaum syi'ah banyak menganut golongan Itsna'asyariyyah. yaitu sekte terbesar syi'ah yang eksis sampai saat ini. menyusul setelahnya Isma'iliyyah dan Yazidiyyah.

A. Pengertian Syî’ah Secara Umum
Syî’ah: asalnya adalah mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib ra, kemudian menjadi kelompok tersendiri diantara kelompok-kelompok kaum muslimin, dengan keyakinan bahwa khilafah adalah hak Ali bin Abi Thalib ra dan para keturunannya, kemudian mereka terbagi menjadi banyak kelompok dimana setiap kelompok memiliki paham-paham yang khas, yang dengannya mereka berbeda dari paham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.[1]



B. Sejarah Kemunculan
Kelompok Syî’ah terbentuk setelah rentetan peristiwa sejak akhir masa kekhilafahan ‘Utsman bin Affan ra. sampai khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Semuanya bermuara pada sosok bernama Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang mengaku muslim, meninggal tahun 40 H. Dia melakukan makar jahat di masa khalifah ‘Utsman, memutus hubungan kaum muslim Kufah, Bashrah, dan Mesir dengan pemimpin mereka, menggunakan politik belah bambu, mengangkat Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. dan menjatuhkan sahabat lain (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman ra.). Dengan meyebarkan beberapa ajaran menyesatkan, diantaranya: (a) bahwa Nabi Muhammad saw bisa dan akan kembali sebagaimana Nabi Isa as., (b) bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah wasiat Nabi saw sebagai khalifah setelah beliau, dan (c) mencela Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, dan ‘Utsman bin ‘Affan ra. karana dianggap telah merampas hak khilafah dari Ali bin Abi Thalib ra. Hingga kemudian terjadi peristiwa pengepungan dan pembunuhan terhadap Khalifah ‘Utsman pada tahun 35 H[2]. Setelah itu, muncullah dua kubu: Syi’ah ‘Utsmaniyyah dan Syi’ah ‘Alawiyyah[3]. Dua kubu besar ini berakhir dengan kemenangan di kubu ‘Utsman, ditandai dengan kekuasaan yang berada di tangan Mu’awiyah. Sedangkan kubu Ali terpecah lagi menjadi dua: pendukung Ali dan Khawarij (penentangnya saat peristiwa tahkim). Pendukung Ali pun ada dua macam, yang adil dari kalangan keturunannya dan sahabat Nabi, mereka diterima periwayatannya, dan al-ghulat (yang berlebihan) dari orang-orang yang tercemari paham bawaan Abdullah bin Saba’[4]. Macam kedua ini lah yang dikemudian hari bernama Syi’ah, dan terpecah lagi menjadi banyak kelompok dan turun-temurun sampai saat ini.

C. Macam-macam kelompok Syî’ah
Menurut Imam Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H) dalam Al-Farq bayna Al-Firaq, Syî’ah terbagi menjadi 20 kelompok, masing-masing kelompok merupakan cabang dari tiga kelompok besar berikut.
1.    Al-Kaisaniyyah, oleh Al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid Ats-Tsaqafi (m. 67 H).
(Al-Harbiyyah dan Al-Bayaniyya)
2.    Az-Zaidiyyah, oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain ra (w. 122 H).
(Al-Jarudiyyah, As-Sulaimaniyyah, dan Ash-Shalihiyyah)
3.    Ar-Rafidhah/Al-Imamiyyah, oleh Abdullah bin Saba’ (m. 40 H).
(Al-Kamiliyyah, Al-Muhammadiyyah, Al-Baqiriyyah, An-Nawusiyyah, Asy-Syumaithiyyah, Al-‘Ammariyyah, Al-Ismai’iliyyah/Al-Bathiniyyah, Al-Mubarakiyyah, Al-Musawiyyah, Al-Qathi’iyyah, Al-Itsna’asyariyyah, Al-Hisyamiyyah, Az-Zarariyyah, Al-Yunusiyyah, dan Asy-Syaithaniyyah).
Asy-Syahrastani (w. 548 H) dalam Al-Milal wa An-Nihal, menyebutkan secara tersendiri kelompok-kelompok Syi’ah yang melampaui batas dengan sebutan: Al-Ghaliyyah[5] (mereka adalah: As-Sabaiyyah, Al-Kamiliyyah, Al-‘Ilya’iyyah, Al-Mughiriyyah, Al-Manshuriyyah, Al-Khaththabiyyah, Al-Kayyaliyyah, Al-Hisyamiyyah, An-Nu’maniyyah, Al-Yunusiyyah, dan An-Nashiriyyah), dan Al-Isma’iliyyah atau lebih dikenal dengan Al-Bathiniyyah.

D. Diantara Ajaran Pokok Syî’ah dan Perbedaannya dengan Ahlussunnah
1.    Sumber Syari’at
Syi’ah: Al-Qur’an telah mengalami distorsi kecuali mushhaf Ali[6], hanya menerima Al-Hadits yang diriwayatkan ahlul-bayt[7], hanya mengakui Ijma’ ahlul-bayt [8], fatwa para Imam ma’shum[9], dan tidak mengakui qiyas. Ahlussunnah: Al-Qur’an yang ada adalah asli, mengakui hadits yang diriwayatkan semua sahabat[10], mengakui ijma’ sahabat, tidak mengakui fatwa Imam yang dianggap ma’shum, dan mengakui qiyas.
2.    Al-Imâmah
Syi’ah: keberadaan Imam adalah wajib dan masuk dalam wilayah keimanan, diangkat berdasarkan nash atau wasiat Imam sebelumnya[11]. Ahlussunnah: keberadaan Imam adalah wajib namun masuk wilayah syari’ah, dan pengangkatannya dengan metode bai’at.
3.    Al-‘Ishmah
Syi’ah: para Imam adalah ma’shum terbebas dari kesalahan dan dosa[12]. Ahlussunnah: sifat al-‘ishmah hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul.

E. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Syî’ah
  • “Adapun Syî’ah, pertentangannya dengan ushul Syafi’i amat besar. Mereka telah menjadikan (menganggap) seluruh perkataan Imam (mereka) sebagai dalil syara’, sama seperti al-Kitab dan Sunnah. Paling tidak perkataan-perkataan para Imam dianggap sebagai hujjah setelah hujjah al-Kitab dan Sunnah. Mereka menjadikan perkataan para Imam sebagai takhsish terhadap Sunnah. … Syî’ah Imamiyah meletakkan Imam-imam mereka sejajar dengan Sunnah. Dan ijtihad menurut mereka terkait dengan mazhab, sehingga tidak boleh seorang mujtahid bertentangan pendapat-pendapat mazhabnya. Artinya seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan perkataan-perkataan seorang Imam yang shadiq (benar). Dan mereka menolak hadits kecuali yang melalui jalur para Imam mereka. Mereka juga tidak mengambil qiyas. Imam-imam mereka sepakat sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam kitab-kitabnya bahwa syariat apabila diqiyaskan akan melenyapkan agama.”[13]
  • “Kemudian muncul kelompok lain dari kaum Muslim yang menyukai Ali bin Abi Thalib ra dan mencintai keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali beserta keturunannya lebih berhak memegang kekhilafahan dari pada yang lainnya. Ali adalah orang yang diberi wasiat oleh Rasul untuk menjadi Khalifah setelah beliau. Mereka menolak banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh jumhur sahabat. Mereka tidak menyandarkan kepada pendapat-pendapat dan fatwa para sahabat. Mereka hanya bersandar kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dari ahlul bait dan fatwa-fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka memiliki fiqih tersendiri. Mereka ini adalah kaum Syî’ah.” [14]
Dua maqâlah Syaikh Taqyuddin di atas, yang pertama menerangkan Syi’ah sebagai madzhab fiqh, dan kedua sebagai kelompok politik. Beliau juga mengkritik nash-nash yang digunakan Syi’ah dalam penetapan Imam sepeninggal Nabi saw[15], dan dalam menetapkan sumber-sumber hukum syara’[16]. Dari sisi akidah, dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur, Syaikh Taqyuddin menyebutkan kelompok Syi’ah Ad-Duruz sebagai kafir[17], dan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum menyebut kelompok Syi’ah yang menuhankan Ali sebagai kafir.
  • “Adapun individu-individu atau kelompok-kelompok yang awalnya berislam kemudian mereka murtad, dan mereka ada sampai saat ini, maka dilihat terlebih dahulu fakta keberadaan mereka yang ada. Apabila mereka dilahirkan oleh murtad dan bukan kemauan mereka sendiri (untuk murtad), melainkan orang-tua atau nenekmoyang mereka yang murtad, seperti golongan Syi’ah Ad-Duruz, pengikut Al-Bahaiyyah, Al-Ismailiyyah, An-Nashiriyyah, yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka mereka tidak diperlakukan sebagai murtad, akan tetapi mereka diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap Majusi dan Shabi’ah. Ditarik dari mereka jizyah, sembelihan mereka tidak dimakan, wanita-wanita mereka tidak dinikahi, kecuali jika mereka mau memperbaharui keislaman mereka, dan mengulangi masuk Islam, maka berlaku bagi mereka hukum terhadap kaum muslimin.” [18]

F. Batasan Millah Islamiyyah
Imam Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H): “Dan pendapat yang benar menurut kami, bahwa Umat Islam adalah sekumpulan mereka yang menetapkan adanya penciptaan alam, ke-esa-an penciptanya, ke-qadiman-Nya, sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, menafikan penyerupaan terhadap-Nya, mengakui kenabian Muhammad dan kerasulan Beliau untuk semua manusia, mendukung syariatnya dan bahwa semua yang dibawanya adalah kebenaran, al-qur’an adalah sumber hukum syara’, dan bahwa ka’bah adalah kiblat shalat. Maka siapa saja yang menetapkan hal itu semua dan tidak mencampurkan bid’ah yang bisa mengantarkan pada kekufuran maka ia adalah orang sunni yang bertauhid. Dan apabila ditambahkan ke dalam perkataan-perkataan tersebut apa yang kami sebut sebagai bid’ah yang buruk, maka dilihat terlebih dahulu. Jika berupa bid’ah al-bathiniyyah, al-bayaniyyah, al-mughirah, atau al-khaththabiyyah yang meyakini ketuhanan para imam atau ketuhanan sebagian imam mereka, atau berupa madzhab al-hulul, penganut reinkarnasi, atau berupa madzhab al-maymunah dari kalangan khawarij yang membolehkan menikahi cucu perempuan dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, atau berupa madzhab al-yaziidiyyah dari al-ibaadhiyyah mengenai perkataannya bahwa syari’at islam dihapus di akhir zaman, menganggap mubah apa saja yang diharamkan dan mengharamkan apa saja yang dibolehkan oleh nash al-qur’an yang tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan ta’wil, maka dia bukan tergolong umat islam dan ia tidak memiliki kemuliaan. Adapun jika bid’ahnya termasuk jenis bid’ah al-mu’tazilah, al-khawarij, ar-rafidhah al-imaamiyyah, az-zaidiyyah, atau bid’ah yang termasuk pada bid’ah al-bukhariyyah, al-jahmiyyah, adh-dhirariyyah, al-mujassimah maka dia masih tergolong umat islam pada sebagian hukum, dan dia boleh dikuburkan di pemakaman kaum muslimin dan tidak dihalangi bagiannya dari harta fai dan ghanimah jika ia berperang bersama kaum muslimin, dia tidak dilarang shalat di masjid-masjid. Namun dia tidak termasuk golongan kaum muslimin dalam hukum-hukum selain itu, yaitu dia tidak boleh dishalati, tidak boleh menjadi makmumnya, tidak halal hewan sembelihannya, tidak boleh menikahi wanita sunniyyah, demikian juga tidak halal bagi laki-laki sunni menikahi wanita dari kalangan mereka jika wanita-wanita itu masih dengan keyakinan mereka. Ali bin Abi Thalib ra. telah berkata kepada kaum khawarij, “Atas kami bagi kalian ada tiga hal, yaitu kami tidak akan memulai perang melawan kalian, kami tidak akan melarang kalian memasuki masjid-masjid Allah untuk berdzikir menyebut nama Allah, dan kami tidak akan menghalangi kalian dari harta fai selama kalian berjuang bersama kami”. Wallahu a’lam”.[19]

G. Kesimpulan
Berdasarkan riwayat, sejarah, dan fakta di atas, maka penyikapan terhadap Syi’ah adalah sebagai berikut.
1.    Secara individu, perlakuan terhadap penganut Syî’ah adalah perlakuan terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah) sebagaimana halnya penganut mu’tazilah dan khawarij, berdasarkan Al-An’am [6]: 68. Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya: “Di dalam ayat ini terdapat pesan yang sangat agung bagi siapa yang membolehkan bergaul dengan ahli bid’ah yang mendistorsi firman Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, menundukkannya pada hawa nafsu mereka yang sesat dan bid’ah mereka yang rusak. Jika dia tidak mampu mengingkari dan mengubah apa yang ada pada mereka, maka paling tidak dia meninggalkan bergaul dengan mereka, dan itu mudah baginya tidak sulit.”[20]
2.    Sebagai rakyat Negara Khilafah, mereka diperlakukan layaknya umat Islam lainnya, tidak dipungut dari mereka jizyah, mendapat bagian dari fay’ dan ghanimah jika ikut berperang bersama kaum muslimin yang lain. Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib ra memperlakukan Al-Haruriyyah pada masa pemerintahan beliau.
3.    Sebagian golongan Syî’ah yang penyimpangannya menjadikan mereka keluar dari Islam. Seperti; yang menganggap Ali bin Abi Thalib ra sebagai tuhan, menganggap Syari’at Islam telah dihapus, malaikat jibril “salah orang” dalam menyampaikan wahyu, dll, maka mereka dihukumi kafir/murtad oleh Negara, sikap serupa juga terhadap Ahmadiyah, Ingkar Sunnah, dll. Hal ini sebagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq ra terhadap mereka yang murtad sebab menolak kewajiban Zakat sepeningga Nabi saw[21].
WaLlâhu ta’âlâ a’lam []

II. Penyimpangan Syi'ah Sebenarnya adalah hal yang Mutawattir disepakati oleh Para Ulama' Salafush Sholih

Adapun Fatwa Para Imam dan Ulama' Muktabar Mengenai Syi'ah adalah sebagai berikut :

IMAM MALIK
الامام مالك

روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سمعت أبا عبد الله يقول :

قال مالك : الذى يشتم اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم

ليس لهم اسم او قال نصيب فى الاسلام.

( الخلال / السن: ۲،٥٥٧ )

Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, katanya : Saya mendengar Abu Abdulloh berkata, bahwa Imam Malik berkata : “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam”
.
( Al Khalal / As Sunnah, 2-557 )

Begitu pula Ibnu Katsir berkata, dalam kaitannya dengan firman Allah surat Al Fath ayat 29, yang artinya :
“ Muhammad itu adalah Rasul (utusan Allah). Orang-orang yang bersama dengan dia (Mukminin) sangat keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka, engkau lihat mereka itu rukuk, sujud serta mengharapkan kurnia daripada Allah dan keridhaanNya. Tanda mereka itu adalah di muka mereka, karena bekas sujud. Itulah contoh (sifat) mereka dalam Taurat. Dan contoh mereka dalam Injil, ialah seperti tanaman yang mengeluarkan anaknya (yang kecil lemah), lalu bertambah kuat dan bertambah besar, lalu tegak lurus dengan batangnya, sehingga ia menakjubkan orang-orang yang menanamnya. (Begitu pula orang-orang Islam, pada mula-mulanya sedikit serta lemah, kemudian bertambah banyak dan kuat), supaya Allah memarahkan orang-orang kafir sebab mereka. Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk orang-orang yang beriman dan beramal salih diantara mereka”.
Beliau berkata : Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, beliau mengambil kesimpulan bahwa golongan Rofidhoh (Syiah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW, adalah Kafir.
Beliau berkata : “Karena mereka ini membenci para sahabat, maka dia adalah Kafir berdasarkan ayat ini”. Pendapat tersebut disepakati oleh sejumlah Ulama.

(Tafsir Ibin Katsir, 4-219)

Imam Al Qurthubi berkata : “Sesungguhnya ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya juga benar, siapapun yang menghina seorang sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin”.

(Tafsir Al Qurthubi, 16-297).

IMAM AHMAD
الامام احمد ابن حمبل
:
روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سألت ابا عبد الله عمن يشتم

أبا بكر وعمر وعائشة ؟  قال: ماأراه على الاسلام
.
( الخلال / السنة : ۲، ٥٥٧)


Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, ia berkata : “Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya, saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam”.

( Al Khalal / As Sunnah, 2-557).

Beliau Al Khalal juga berkata : Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata : “Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka kami khawatir dia keluar dari Islam, tanpa disadari”.

(Al Khalal / As Sunnah, 2-558).

Beliau Al Khalal juga berkata :

وقال الخلال: أخبرنا عبد الله بن احمد بن حمبل قال : سألت أبى عن رجل شتم رجلا

من اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم فقال : ما أراه على الاسلام

(الخلال / السنة : ۲،٥٥٧)

“ Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita pada kami, katanya : “Saya bertanya kepada ayahku perihal seorang yang mencela salah seorang dari sahabat Nabi SAW. Maka beliau menjawab : “Saya berpendapat ia bukan orang Islam”.

(Al Khalal / As Sunnah, 2-558)


Dalam kitab AS SUNNAH karya IMAM AHMAD halaman 82, disebutkan mengenai pendapat beliau tentang golongan Rofidhoh (Syiah) :

“Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya, kecuali hanya empat orang saja yang tidak mereka kafirkan, yaitu Ali, Ammar, Migdad dan Salman. Golongan Rofidhoh (Syiah) ini sama sekali bukan Islam.


AL BUKHORI

الامام البخارى
.
قال رحمه الله : ماأبالى صليت خلف الجهمى والرافضى

أم صليت خلف اليهود والنصارى

ولا يسلم عليه ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
.
( خلق أفعال العباد :١٢٥)


Iman Bukhori berkata : “Bagi saya sama saja, apakah aku sholat dibelakang Imam yang beraliran JAHM atau Rofidhoh (Syiah) atau aku sholat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan seorang Muslim tidak boleh memberi salam pada mereka, dan tidak boleh mengunjungi mereka ketika sakit juga tidak boleh kawin dengan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai saksi, begitu pula tidak makan hewan yang disembelih oleh mereka.
(Imam Bukhori / Kholgul Afail, halaman 125).

AL FARYABI
الفريابى :

روى الخلال قال : أخبرنى حرب بن اسماعيل الكرمانى

قال : حدثنا موسى بن هارون بن زياد قال: سمعت الفريابى ورجل يسأله عمن شتم أبابكر

قال: كافر، قال: فيصلى عليه، قال: لا. وسألته كيف يصنع به وهو يقول لا اله الا الله،

قال: لا تمسوه بأيديكم، ارفعوه بالخشب حتى تواروه فى حفرته.

(الخلال/السنة: ۲،٥٦٦)


Al Khalal meriwayatkan, katanya : “Telah menceritakan kepadaku Harb bin Ismail Al Karmani, katanya : “Musa bin Harun bin Zayyad menceritakan kepada kami : “Saya mendengar Al Faryaabi dan seseorang bertanya kepadanya tentang orang yang mencela Abu Bakar. Jawabnya : “Dia kafir”. Lalu ia berkata : “Apakah orang semacam itu boleh disholatkan jenazahnya ?”. Jawabnya : “Tidak”. Dan aku bertanya pula kepadanya : “Mengenai apa yang dilakukan terhadapnya, padahal orang itu juga telah mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh?”. Jawabnya : “Janganlah kamu sentuh jenazahnya dengan tangan kamu, tetapi kamu angkat dengan kayu sampai kamu turunkan ke liang lahatnya”.

(Al Khalal / As Sunnah, 6-566)

AHMAD BIN YUNUS

Beliau berkata : “Sekiranya seorang Yahudi menyembelih seekor binatang dan seorang Rofidhi (Syiah) juga menyembelih seekor binatang, niscaya saya hanya memakan sembelihan si Yahudi dan aku tidak mau makan sembelihan si Rofidhi (Syiah), sebab dia telah murtad dari Islam”.

(Ash Shariim Al Maslul, halaman 570).

ABU ZUR’AH AR ROZI
أبو زرعة الرازى.

اذا رأيت الرجل ينتقص أحدا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم

فاعلم أنه زنديق، لأن مؤدى قوله الى ابطال القران والسنة.

( الكفاية : ٤٩)


Beliau berkata : “Bila anda melihat seorang merendahkan (mencela) salah seorang sahabat Rasulullah SAW, maka ketahuilah bahwa dia adalah ZINDIIG. Karena ucapannya itu berakibat membatalkan Al-Qur'an dan As Sunnah”.

(Al Kifayah, halaman 49).

ABDUL QODIR AL BAGHDADI

Beliau berkata : “Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah dan Imamiyah adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh di sholatkan dan tidak sah berma’mum sholat di belakang mereka”.

(Al Fargu Bainal Firaq, halaman 357).

Beliau selanjutnya berkata : “Mengkafirkan mereka adalah suatu hal yang wajib, sebab mereka menyatakan Allah bersifat Al Bada’

IBNU HAZM

Beliau berkata : “Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah, bahwa Al-Qur'an sesungguhnya sudah diubah”.
Kemudian beliau berkata : ”Orang yang berpendapat bahwa Al-Qur'an yang ada ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah SAW”.

(Al Fashl, 5-40).

ABU HAMID AL GHOZALI

Imam Ghozali berkata : “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar Rodhialloh Anhuma, maka berarti ia telah menentang dan membinasakan Ijma kaum Muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”.
Kemudian kata beliau : “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut Ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir”.

(Fadhoihul Batiniyyah, halaman 149).


AL QODHI IYADH

Beliau berkata : “Kita telah menetapkan kekafiran orang-orang Syiah yang telah berlebihan dalam keyakinan mereka, bahwa para Imam mereka lebih mulia dari pada para Nabi”.
Beliau juga berkata : “Kami juga mengkafirkan siapa saja yang mengingkari Al-Qur'an, walaupun hanya satu huruf atau menyatakan ada ayat-ayat yang diubah atau ditambah di dalamnya, sebagaimana golongan Batiniyah (Syiah) dan
Syiah Ismailiyah”.

(Ar Risalah, halaman 325).

AL FAKHRUR ROZI

Ar Rozi menyebutkan, bahwa sahabat-sahabatnya dari golongan Asyairoh mengkafirkan golongan Rofidhoh (Syiah) karena tiga alasan :
Pertama: Karena mengkafirkan para pemuka kaum Muslimin (para sahabat Nabi). Setiap orang yang mengkafirkan seorang Muslimin, maka dia yang kafir. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW, yang artinya : “Barangsiapa berkata kepada saudaranya, hai kafir, maka sesungguhnya salah seorang dari keduanya lebih patut sebagai orang kafir”.
Dengan demikian mereka (golongan Syiah) otomatis menjadi kafir.
Kedua: “Mereka telah mengkafirkan satu umat (kaum) yang telah ditegaskan oleh Rasulullah sebagai orang-orang terpuji dan memperoleh kehormatan (para sahabat Nabi)”.
Ketiga: Umat Islam telah Ijma’ menghukum kafir siapa saja yang mengkafirkan para tokoh dari kalangan sahabat.

(Nihaayatul Uguul, Al Warogoh, halaman 212).

IBNU TAIMIYAH

Beliau berkata : “Barangsiapa beranggapan bahwa Al-Qur'an telah dikurangi ayat-ayatnya atau ada yang disembunyikan, atau beranggapan bahwa Al-Qur'an mempunyai penafsiran-penafsiran batin, maka gugurlah amal-amal kebaikannya. Dan tidak ada perselisihan pendapat tentang kekafiran orang semacam ini”
Barangsiapa beranggapan para sahabat Nabi itu murtad setelah wafatnya Rasulullah, kecuali tidak lebih dari sepuluh orang, atau mayoritas dari mereka sebagai orang fasik, maka tidak diragukan lagi, bahwa orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan penegasan Al-Qur'an yang terdapat di dalam berbagai ayat mengenai keridhoan dan pujian Allah kepada mereka. Bahkan kekafiran orang semacam ini, adakah orang yang meragukannya? Sebab kekafiran orang semacam ini sudah jelas....

(Ash Sharim AL Maslul, halaman 586-587).

SYAH ABDUL AZIZ DAHLAWI

Sesudah mempelajari sampai tuntas mazhab Itsna Asyariyah dari sumber-sumber mereka yang terpercaya, beliau berkata : “Seseorang yang menyimak aqidah mereka yang busuk dan apa yang terkandung didalamnya, niscaya ia tahu bahwa mereka ini sama sekali tidak berhak sebagai orang Islam dan tampak jelaslah baginya kekafiran mereka”.

(Mukhtashor At Tuhfah Al Itsna Asyariyah, halaman 300).

MUHAMMAD BIN ALI ASY SYAUKANI

Perbuatan yang mereka (Syiah) lakukan mencakup empat dosa besar, masing-masing dari dosa besar ini merupakan kekafiran yang terang-terangan.
Pertama : Menentang Allah.
Kedua : Menentang Rasulullah.
Ketiga : Menentang Syariat Islam yang suci dan upaya mereka untuk melenyapkannya.
Keempat : Mengkafirkan para sahabat yang diridhoi oleh Allah, yang didalam Al-Qur'an telah dijelaskan sifat-sifatnya, bahwa mereka orang yang paling keras kepada golongan Kuffar, Allah SWT menjadikan golongan Kuffar sangat benci kepada mereka. Allah meridhoi mereka dan disamping telah menjadi ketetapan hukum didalam syariat Islam yang suci, bahwa barangsiapa mengkafirkan seorang muslim, maka dia telah kafir, sebagaimana tersebut di dalam Bukhori, Muslim dan lain-lainnya.

(Asy Syaukani, Natsrul Jauhar Ala Hadiitsi Abi Dzar, Al Warogoh, hal 15-16)


PARA ULAMA SEBELAH TIMUR SUNGAI JAIHUN

Al Alusi (seorang penulis tafsir) berkata : “Sebagian besar ulama disebelah timur sungai ini menyatakan kekafiran golongan Itsna Asyariyah dan menetapkan halalnya darah mereka, harta mereka dan menjadikan wanita mereka menjadi budak, sebab mereka ini mencela sahabat Nabi SAW, terutama Abu Bakar dan Umar, yang menjadi telinga dan mata Rasulullah SAW, mengingkari kekhilafahan Abu Bakar, menuduh Aisyah Ummul Mukminin berbuat zina, padahal Allah sendiri menyatakan kesuciannya, melebihkan Ali r.a. dari rasul-rasul Ulul Azmi. Sebagian mereka melebihkannya dari Rasulullah SAW dan mengingkari terpeliharanya Al-Qur'an dari kekurangan dan tambahan”.

(Nahjus Salaamah, halaman 29-30)

والله أعلمُ بالـصـواب

=====Catatatn Kaki=====


[1] Prof. Dr. Rowwas Qol’ahji, Mu’jam Lughatil Fuqaha, hlm 268

[2] Lihat Ibn Al-Atsir (w. 630 H), Al-Kamil fi At-Tarikh, vol II, hlm 8

[3] Syi’ah di sini belum berupa kelompok, melainkan sebatas pendukung. Masing-masing kubu didukung sejumlah sahabat, misalnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Aisyah, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin ‘Awwam di kubu ‘Utsman, sedangkan Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Aswad, Jabir bin Abdillah, ‘Ubay bin Ka’ab, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah di kubu ‘Ali.

[4] Dari Abu Hibrah berkata: aku mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: “dua macam orang akan binasa, yang berlebihan dalam mencintaiku dan berlebihan dalam membenciku.” (mushannaf Ibn Abi Syaibah, vol XII, hlm 84).

[5] Penyimpangan kelompok-kelompok ini berkisar seputar; pengakuan At-Tasybih (penyerupaan tuhan), Al-Bida’ (perubahan ilmu Allah), Ar-Raj’ah (kebangkitan sebelum kiamat), dan At-Tanasukh (reinkarnasi).

[6] Disebut juga mushhaf Fathimah yang tebalnya tiga kali tebal dari mushhaf ‘Utsmani, namun faktanya mushhaf tersebut tidak dijumpai. Mereka mengatakan mushhaf tersebut akan muncul bersama Al-Imam Al-Mahdi di akhir zaman. Untuk sementara boleh membaca dan mengamalkan isi Al-Qur’an yang ada sekarang.

[7] Sedangkan hadits yang diriwayatkan melalui jalan para sahabat Rasulullah saw (selain Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi), mereka sama sekali menolaknya. Berdasarkan riwayat dari Imam ke-enam mereka:
  • Dari Abu Ja’far: “seluruh kaum muslimin menjadi murtad setelah wafatnya Nabi saw, kecuali tiga orang.” Dikatakan kepadanya: siapa tiga orang tersebut?, dia menjawab: “Al-Miqdad bin      Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kulaini, Al-Kafi, hlm 115)
Perlu diketahui juga bahwa kalangan Syi’ah Rafidhah sering memalsukan hadits.
  • Dari Hammad bin Abi Salamah, berkata kepadaku salah seorang Syaikh mereka –yakni kaum Ar-Rafidhah– yang telah bertaubat: “Jika kami sedang berkumpul dan menganggap baik sesuatu, maka kami menjadikannya sebagai hadits Nabi.” (Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi, vol I, hlm 138)

[8] Az-Zaidiyyah, karya Ash-Shahib bin ‘Abbad (w. 385 H), hlm 247. Syaikh Taqyuddin membantah dengan baik ijma’ macam ini dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, vol III, hlm 300.

[9] Adapun wilayah ijtihad bagi syi’ah, tidak boleh dalam perkara yang menyelisihi fatwa Imam ma’shum. Sedangkan kelompok Zaidiyyah memandang boleh ijtihad bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu maka mengikuti pendapat madzhab lebih utama.

[10] Imam Ibnu Abdil Barr: Jika tentang para sahabat Nabi ra. (sebagai rowi) maka kami cukupkan pembahasan terkait kondisi-kondisi mereka, dikarenakan ijma’ para ‘ulama daiantara kaum muslimin, mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, bahwa mereka semuanya adil.” (Ibn Abdil Barr, Al-Isti’ab fi Ma’rifati Al-Ashhab, vol I, hlm 7)

[11] Jika tidak ada wasiat dari Imam sebelumnya, maka penetapan Imam berdasarkan bukti berupa khawariqul-‘adat (perkara-perkara luar-biasa/ajaib semacam mu’jizat), kecuali kelompok Zaidiyyah, mereka hanya mengakui metode bai’at.

[12] Berdasarkan keyakinan bahwa wahyu tidak putus sampai hari akhir dan bahwa Imam adalah penerus Rasulullah dalam menyampaikan ajaran Islam berdasarkan ilmu laduni. Namun perlu diketahui, bahwa keyakinan ini baru muncul di masa Ja’far Shadiq berdasarkan keterangan Ibnu Nadim (w. 438 H) dalam kitabnya Al-Fihrisit, hlm 239. Adapun Syi’ah Zaidiyyah tidak mengakui hal tersebut.

[13] Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol I, hlm 362

[14] Ibid, vol I hlm 376

[15] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol II, hlm 35, 54-95

[16] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2005), vol III, hlm 64

[17] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur (thab’ah mu’tamadah – 2009), hlm 34. Penjelasan untuk pasal ke-7.

[18] Abdul Qadi Zallum, Amwal fi Daulah Al-Khilafah (thab’ah mu’tamadah – 2004), hlm 64.

[19] Abu Manshur Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq, hlm. 10

[20] Asy-Syaukani, Fath Al-Qadir, vol II, hlm 429

[21] Setiap kekufuran yang tampak setelah (keberadaan) daulah Islam maka tidak boleh ditarik jizyah dari pelakunya. (Al-farq baynal-Firaq, hlm 347).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Islamic E-books